1 tahun disway

Ketika Pecinta Alam Lupa kepada Alam —Refleksi dari Seorang Mantan MAPALA

Ketika Pecinta Alam Lupa kepada Alam —Refleksi dari Seorang Mantan MAPALA

--

SAYA masih ingat bau tanah basah di pagi hari di lereng Arjuno, ketika kabut perlahan turun dan suara ranting patah terdengar dari balik semak. Saat itu saya baru semester dua di STMIK Indonesia, dan sedang ikut diklat lapangan pertama saya sebagai anggota baru MAPALA.

Waktu itu, tidak ada kamera yang merekam momen kami. Tak ada feed Instagram yang menunggu postingan “sunrise keren”. Yang ada hanya kami, tubuh lelah, dan rasa syukur bisa memandang bumi dari atas awan.

Kami percaya bahwa alam adalah guru terbaik. Di sana kami belajar sabar, disiplin, dan rendah hati. Kami tahu kapan harus menunduk saat angin kencang, dan kapan harus diam ketika kabut menutup pandangan. Semua itu bukan romantisme itu pelajaran hidup.

Bagi saya, MAPALA bukan sekadar organisasi kampus. Ia adalah sekolah kehidupan yang tidak pernah tercantum di KRS.

Kami belajar banyak hal yang tidak bisa diajarkan oleh dosen mana pun dari cara menyalakan api di tengah hujan, membaca arah dari bintang, hingga mengatur logistik untuk tim ekspedisi.

Saat seorang teman kedinginan di tenda, kami belajar arti solidaritas. Saat jalur pendakian penuh sampah, kami belajar tentang tanggung jawab. Dan ketika melihat hutan rusak akibat ulah manusia, kami belajar bahwa “mencintai alam” bukan slogan, tapi panggilan nurani.


Penulis, Abdul Halim (kanan) saat melakukan aktivitas di alam bersama rekan-rekannya-abdulhalim/diswaymalang-

Di era itu, tidak banyak yang mau ikut MAPALA. Dingin, berat, dan berisiko. Tapi bagi kami, justru di situlah letak maknanya mencintai sesuatu bukan karena mudah, tapi karena ia berarti.

Namun kini, saya melihat pergeseran makna yang cukup menyedihkan.

Aktivitas alam yang dulu identik dengan spirit konservasi kini berubah menjadi ajang eksistensi digital. Banyak yang pergi ke gunung bukan untuk memahami alam, melainkan untuk mendapatkan foto yang “layak posting”.

Saya tidak menyalahkan siapa pun. Dunia memang berubah. Media sosial membuat semuanya bisa terlihat indah, cepat, dan mudah. Tapi yang saya sesalkan adalah ketika makna mendaki, menjelajah, atau menanam pohon berubah menjadi sekadar “pencitraan hijau”.

Sekarang, banyak yang mengaku pecinta alam, tapi masih buang sampah sembarangan di jalur pendakian. Banyak yang bangga menulis “summit berhasil”, tapi lupa bahwa setiap langkah di hutan membawa tanggung jawab ekologis.

MAPALA bukan lagi simbol pergerakan, tapi mulai tergeser menjadi simbol gaya hidup. Dan itulah yang saya sebut: pecinta alam yang lupa pada alam.

Saya paham bahwa zaman tidak bisa diputar balik. Anak muda sekarang hidup di dunia digital, dan media sosial adalah ruang aktualisasi diri yang sah. Tapi justru di situ tantangan pecinta alam generasi baru: bagaimana menggunakan dunia digital untuk memperkuat kesadaran lingkungan, bukan sekadar memoles citra.

Sumber: