8 April, Hari Balita Nasional: Masa Golden Age untuk Membentuk Karakter dan Attitude Anak!
--
5. Disiplin Positif: Tegas Tanpa Kekerasan
Memberi batasan bukan berarti harus keras. Anak bisa diajak mengenal aturan lewat pendekatan yang hangat, tapi konsisten. Misalnya, saat anak melempar mainan, kita bisa bilang,“Mainan tidak untuk dilempar. Kalau kamu lempar lagi, Mama simpan dulu.”
Pendekatan ini tidak membuat anak trauma, tapi tetap belajar konsekuensi. Disiplin positif juga membangun hubungan yang sehat antara anak dan orang tua, tanpa rasa takut berlebihan.
6. Bermain Itu Belajar: Pilih Permainan yang Mendidik
Permainan bukan hanya pengisi waktu. Saat anak bermain, mereka sebenarnya sedang belajar banyak hal: kerja sama, giliran, aturan, bahkan mengelola emosi. Mainan edukatif seperti puzzle, balok susun, hingga permainan peran bisa membentuk logika dan karakter anak sekaligus.
Menurut jurnal Pediatrics, selain mainan fisik, interaksi sosial dalam bermain juga membentuk kemampuan komunikasi dan toleransi. Anak belajar bagaimana bernegosiasi, menghadapi konflik kecil, dan bekerja sama untuk tujuan bersama.
7. Konsistensi Pola Asuh Bikin Anak Merasa Aman
Anak balita membutuhkan rutinitas dan aturan yang jelas. Bukan untuk mengekang, tapi memberi rasa aman. Ketika aturan berubah-ubah tergantung mood orang tua, anak bisa bingung dan merasa tidak aman.
Konsistensi juga membantu anak memahami ekspektasi dan konsekuensi. Misalnya, jika setiap kali melempar makanan ia langsung diajak bersih-bersih, anak akan paham bahwa tindakannya punya akibat.
8. Komunikasi Dua Arah Sejak Dini
Balita memang belum bisa berargumen panjang. Tapi mereka bisa diajak bicara, diberi pilihan, dan diajak berdiskusi ringan. Ini mengajarkan bahwa pendapat mereka dihargai.
Misalnya,“Kamu mau pakai baju merah atau biru hari ini?” Dengan cara ini, anak belajar mengambil keputusan, bertanggung jawab atas pilihannya, dan berani mengutarakan pendapat.
9. Validasi Emosi: Jangan Anggap Sepele Perasaan Anak
Saat anak balita menangis karena hal kecil, jangan buru-buru menyuruhnya diam. Anak perlu belajar bahwa semua emosi valid. Alih-alih bilang “Ah, gitu aja nangis,” coba katakan, “Kamu sedih, ya? Nggak apa-apa kok sedih.”
Dengan memvalidasi emosi, anak belajar mengenali dan mengelola perasaannya. Ini jadi dasar penting untuk kesehatan mental dan sosial serta bagaimana mereka berperilaku ke depan.
Sumber: prentice hall
