Pengamat: PPN 12 Persen, Kelas Menengah Jadi Miskin, Kelas Miskin Paling Sengsara
Kenaikan PPN 12 Persen--iStockphoto
MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang diwacanakan dimulai pada 2025 mendatang disebut-sebut akan lebih menyengsarakan kelompok ekonomi menengah, alih-alih kelompok masyarakat miskin.
Meski kelompok masyarakat kurang mampu di Indonesia mendapat beragam bantuan dari pemerintah, kelompok masyarakat menengah belum mendapatkan dukungan serupa.
Tak hanya itu, kelas menengah yang rata-rata hanya memperoleh pendapatan dengan nominal setara upah minimum regional (UMR), juga akan semakin tertekan dengan adanya kebijakan kenaikan PPN tersebut.
Penghasilan setara UMR cenderung hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehingga kenaikan PPN berpotensi memberikan tekanan ekonomi dan psikologis yang besar, khususnya bagi masyarakat kelompok ekonomi menengah.
Kelas Menengah Turun Kasta ke Miskin
Menurut data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia memang cenderung mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir.
Pada 2019, tercatat jumlah kelas menengah tersebut adalah 57,33 juta jiwa. Kemudian, pada 2024 ini, jumlahnya hanya menjadi 47,85 juta jiwa saja. Kebanyakan kelas menengah tersebut “turun kasta” ke kelompok calon kelas menengah atau menuju kelas menengah.
Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen ini bukan merupakan hal yang bijak di tengah penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.
Menurut data BPS, pada September 2024 lalu, Indonesia tercatat mengalami deflasi terdalamnya di angka 0,12 persen. Dari data tersebut seharusnya, pemerintah dapat memperbaiki daya beli masyarakat terlebih dahulu, sebelum akhirnya mempertimbangkan untuk menaikkan pajak.
Pajak Jadi Andalan Utama
Menurut data BPS, pajak memiliki proporsi tertinggi dari pendapatan yang bisa diperoleh pemerintah.
- Pajak memiliki persentase penerimaannya mencapai 82,4 persen atau Rp2.309,9 triliun pada 2024.
- Kedua setelah pajak adalah Sumber Daya Alam (SDA) dengan persentase 7,4 persen atau Rp207,7 triliun. Jumlah ini jelas terpaut sangat jauh dengan pajak.
- Peringkat ketiga, terdapat penerimaan bukan pajak lainnya dengan persentase 4,1 persen atau Rp115,1 triliun.
- Pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai 3,1% atau Rp85,8 triliun.
- Pendapatan pemerintah paling kecil didapatkan dari Badan Layanan Umum dengan persentase 3% atau Rp83,4 triliun.
Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa pajak menyumbang proporsi paling besar dari pendapatan pemerintah dibandingkan dengan sumber lain. Menaikkan PPN menjadi 12 persen dinilai menjadi cara instan pemerintah untuk menambah pendapatan negara.
Sementara itu itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebelumnya juga memaparkan rincian alokasi pembebasan PPN sebesar Rp 265,6 triliun tersebut dengan menyasar berbagai sektor strategis.
Dari angka tersebut, nantinya Rp 77,1 triliun dialokasikan untuk pembebasan PPN bahan makanan, Rp61,2 triliun untuk insentif UMKM, Rp34,4 triliun untuk sektor transportasi, serta Rp 30,8 triliun untuk pendidikan dan kesehatan.
Sumber: bps
