1 tahun disway

First Look “Para Perasuk”, Saat Rock Star jadi Dukun dan Maudy Ayunda Bukan Lagi Mahasiswa Pintar

First Look “Para Perasuk”, Saat Rock Star jadi Dukun dan Maudy Ayunda Bukan Lagi Mahasiswa Pintar

First Look Para Perasuk - Maudy Ayunda Keluar dari Zona Nyamannya-instagram @wregas_bhanuteja-

Mengangkat kisah dari desa fiktif, Para Perasuk membangun premis yang tidak biasa: kerasukan bukan dianggap sebagai bencana, tapi justru sebagai bagian dari euforia masyarakat. Di tengah-tengah itu, hadir tokoh Bayu yang ingin menjadi perasuk agar bisa mengambil alih peran penting dalam menjaga desanya dari krisis. Cerita ini membuka ruang kontemplasi tentang eksistensi, ego, dan pencarian makna kekuasaan di tengah tradisi.

Judul internasional film ini, Levitating, menyiratkan bahwa unsur supranatural dalam cerita ini bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai metafora sosial dan spiritual.

Bukan Debut Sembarangan: Sudah Diakui Sebelum Tayang

Sebelum menyapa penonton bioskop, Para Perasuk sudah unjuk prestasi di level internasional. Film ini meraih penghargaan CJ ENM Award di Asian Project Market—bagian dari Busan International Film Festival 2024. Ia juga mendapat dukungan dari Purin Pictures, organisasi film independen di Asia Tenggara yang memberikan dana pasca-produksi untuk karya-karya yang dinilai kuat secara artistik.

Penghargaan dan dukungan tersebut menjadi sinyal bahwa Para Perasuk bukan hanya film horor biasa. Ia adalah karya seni yang serius digarap, dengan pesan sosial yang ingin disampaikan secara simbolik melalui budaya dan supranatural lokal.

Wregas Bhanuteja dan Gairah Baru Sinema Supernatural Indonesia

Disutradarai oleh Wregas Bhanuteja—nama yang tak asing di festival-festival film internasional—Para Perasuk mengikuti jejak film-filmnya sebelumnya seperti Penyalin Cahaya dan Budi Pekerti yang berhasil menembus batas konvensi film Indonesia.

Wregas dikenal sebagai sutradara yang senang mengangkat kegelisahan sosial ke dalam simbolisme sinematik. Ia pernah mengguncang Cannes lewat Prenjak, serta menyentuh sisi kemanusiaan lewat Tak Ada yang Gila di Kota Ini. Dengan Para Perasuk, ia tampaknya membawa gaya bercerita itu ke wilayah mistik yang lebih dalam dan visual yang lebih teatrikal.

Gaya dan Isi Film Berdasarkan Jejak Wregas

Melihat karya-karya sebelumnya seperti Penyalin Cahaya (2021) dan Budi Pekerti (2023), Wregas bukanlah pembuat film yang sekadar menyajikan cerita. Ia kerap membongkar sisi-sisi tersembunyi dari masyarakat—baik lewat kritik sosial, satir, maupun eksplorasi budaya.

Dengan Para Perasuk, nuansa supernatural yang diusung kemungkinan besar bukan sekadar elemen horor. Lebih dari itu, besar kemungkinan Wregas akan membawa penonton merenungkan: Bagaimana masyarakat kita memperlakukan tradisi, Mengapa “kerasukan” bisa menjadi alat kendali atau hiburan kolektif dan bagaimana individu berjuang untuk menemukan identitas atau pengakuan dalam struktur sosial yang aneh tapi nyata.

Wregas juga dikenal suka memakai simbol visual yang kuat. Jadi bisa jadi, film ini penuh adegan teatrikal—seperti tarian, bunyi alat musik tradisional, atau ritual yang dibingkai dengan sudut pengambilan gambar yang tajam dan metaforis.

Tokoh “Bayu” yang ingin menjadi perasuk mungkin saja mewakili narasi klasik tentang ambisi manusia—tapi dibungkus dalam konteks budaya lokal yang belum banyak dijamah perfilman Indonesia.

 

Dibanding film horor Indonesia kebanyakan yang fokus pada jump scare atau cerita setan klasik, Para Perasuk berusaha menghadirkan kedalaman tema. Ia menempatkan budaya lokal, musik, dan dinamika sosial sebagai fondasi cerita, bukan hanya latar tempelan. Ini menjanjikan pengalaman menonton yang bukan hanya menyeramkan, tapi juga reflektif dan unik secara visual.

Sumber: instagram ussfeeds