Pola ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kini lebih percaya pada digital marketplace dibandingkan toko fisik.
Di balik fenomena ini, ada realitas baru yang harus disadari yakni mal bukan sekadar tempat belanja, tetapi ruang sosial, hiburan, dan gaya hidup.
BACA JUGA:9 Tips Anti Boros dengan Metode 50-30-20 untuk Generasi Milenial dan Gen Z
Penurunan jumlah pengunjung bukan berarti mal kehilangan relevansi sepenuhnya. Justru, mal perlu bertransformasi menjadi destinasi pengalaman (experience center) yang tidak bisa digantikan layar ponsel.
Hiburan, kuliner, event komunitas, hingga ruang interaksi sosial bisa menjadi nilai tambah yang membuat orang tetap datang.
Dengan kata lain, e-commerce mungkin mendominasi urusan transaksi, tetapi mal masih punya peluang besar di ranah pengalaman.
Tantangannya adalah bagaimana para pengelola bisa menyulap mal dari sekadar tempat belanja menjadi ruang hidup masyarakat urban yang haus akan hiburan, relasi, dan suasana.