MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam hal konsumsi gula, terutama pada kelompok usia yang paling rentan yakni balita.
Laporan terbaru dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa prevalensi konsumsi minuman manis di kalangan balita usia 6 hingga 23 bulan masih sangat tinggi, bahkan di beberapa provinsi menyentuh angka di atas 30 persen.
Minuman manis seperti teh manis, sirup, hingga minuman dalam kemasan seperti susu kental manis dan minuman rasa buah, menjadi bagian dari konsumsi harian anak-anak.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kebiasaan rumah tangga, tetapi juga menunjukkan lemahnya literasi gizi dan agresivitas pemasaran produk manis yang menyasar ibu dan anak.
BACA JUGA:Mmen World Milk Day, Kenali Cara Bedakan Susu Asli dan Palsu dengan 9 Langkah Ini
Provinsi dengan Konsumsi Minuman Manis Balita Tertinggi
Data dari Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan 15 provinsi dengan tingkat konsumsi minuman manis tertinggi pada balita:
- Nusa Tenggara Timur (NTT) 30,1 persen
- Aceh 27,4 persen
- Papua 27,1 persen
- Papua Barat Daya 25,7 persen
- Papua Selatan 21,6 persen
- Kalimantan Utara 20,3 persen
- Sumatra Utara 18,1 persen
- Papua Barat 17,5 persen
- Bali17,4 persen
- Maluku 17,3 persen
- Sulawesi Barat17,3 persen
- Kalimantan Timur 17,2 persen
- Jambi 17,1 persen
- Kalimantan Barat 16,9 persen
- Maluku Utara 16,7 persen
Bahaya yang Tidak Terlihat
Konsumsi minuman manis secara rutin pada balita berisiko menyebabkan sejumlah gangguan kesehatan serius seperti:
- Obesitas anak
- Gigi berlubang
- Masalah metabolik sejak dini
- Kecanduan gula dalam jangka panjang
Sayangnya, banyak orang tua yang masih menganggap minuman manis sebagai bentuk kasih sayang atau sumber energi, tanpa memahami risiko jangka panjangnya.
Fenomena ini diperparah oleh minimnya edukasi gizi serta kampanye pemasaran yang kuat dari industri makanan dan minuman.
Kesenjangan Literasi Gizi dan Ketimpangan Akses Informasi
Tingginya angka konsumsi minuman manis di beberapa daerah seperti NTT, Papua, dan Aceh menunjukkan bahwa akses terhadap edukasi gizi belum merata.
Daerah-daerah ini kerap kali memiliki infrastruktur informasi dan layanan kesehatan yang terbatas, serta masih kuatnya pengaruh budaya dalam pemberian makanan dan minuman kepada anak-anak.
Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan langkah serius dan menyeluruh untuk menekan angka konsumsi gula pada balita. Strategi yang bisa dilakukan antara lain:
- Kampanye nasional tentang bahaya konsumsi gula pada anak-anak
- Regulasi iklan makanan dan minuman manis yang menyasar anak-anak
- Pelatihan kader posyandu dan petugas kesehatan mengenai edukasi gizi keluarga
- Distribusi informasi berbasis lokal dalam bahasa daerah agar mudah dipahami masyarakat setempat
Tingginya konsumsi minuman manis di kalangan balita bukan hanya masalah pola makan, tetapi juga masalah kebijakan publik dan kesadaran kolektif.
Tanpa langkah preventif yang menyeluruh, Indonesia berisiko menghadapi generasi yang rentan terhadap penyakit tidak menular sejak usia dini.