19 Mei Hari Penyakit Radang Usus, Berikut 9 Info Penting tentang Penyakit dengan 10 Juta Lebih Penderita Ini!

Senin 19-05-2025,05:10 WIB
Reporter : Immanuela Regina
Editor : Agung Pamujo

Perbedaan ini memengaruhi cara diagnosis, jenis pengobatan, dan kemungkinan komplikasi.

4. Faktor Risiko dan Penyebab

IBD tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal. Penyakit ini timbul karena kombinasi antara genetik, sistem imun, dan faktor lingkungan. Seseorang dengan riwayat keluarga IBD memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini. Namun, tidak semua yang memiliki faktor genetik akan otomatis terkena.

Polusi, makanan ultra-proses, kebiasaan merokok, serta infeksi saluran cerna juga berperan dalam memicu peradangan pada individu yang rentan. Misalnya, studi di Cell Host & Microbe (2023) menunjukkan bahwa ketidakseimbangan mikrobiota usus (dysbiosis) bisa memicu flare-up pada pasien IBD.

5. Bagaimana Proses Diagnosis IBD?

Menegakkan diagnosis IBD bukan perkara mudah. Dokter biasanya akan menggabungkan hasil wawancara medis, pemeriksaan fisik, laboratorium darah dan feses, hingga prosedur endoskopi. Pada kasus tertentu, CT scan atau MRI abdomen juga dibutuhkan untuk melihat kondisi usus secara keseluruhan. Salah satu indikator khas dalam darah pasien IBD adalah peningkatan CRP (C-reactive protein), yang menunjukkan adanya inflamasi aktif.

Menurut American Journal of Gastroenterology (2022), mereka menekankan bahwa skrining dini bagi pasien dengan gejala gastrointestinal kronis sangat disarankan, terutama pada remaja dan dewasa muda, karena sebagian besar kasus IBD muncul di usia 15–35 tahun.

6. Pengobatan: Dari Steroid hingga Biologis

Pengobatan IBD bertujuan mengurangi peradangan, memperpanjang masa remisi, dan mencegah komplikasi. Terapi lini pertama biasanya melibatkan kortikosteroid (seperti prednison) dan aminosalisilat (5-ASA). Bila gejala tak kunjung membaik, dokter akan melanjutkan ke imunomodulator seperti azathioprine atau methotrexate.

Dalam beberapa tahun terakhir, terapi biologis seperti anti-TNF (infliximab, adalimumab) dan integrin inhibitor telah merevolusi cara menangani IBD. Terapi ini bekerja dengan menargetkan molekul spesifik penyebab inflamasi, bukan hanya menekan sistem imun secara umum. Hasilnya, lebih banyak pasien bisa masuk remisi jangka panjang tanpa efek samping berat seperti pada steroid.

7. Komplikasi Jangka Panjang yang Perlu Diwaspadai

IBD bukan hanya tentang sakit perut atau diare. Bila tidak ditangani dengan baik, peradangan kronis dapat menimbulkan komplikasi serius seperti fistula (saluran abnormal antar organ), striktur usus, hingga kanker kolorektal. Pasien dengan UC lebih berisiko mengalami kanker kolon setelah 8–10 tahun hidup dengan penyakit ini.

Crohn’s disease juga memiliki komplikasi yang tidak kalah berat. Karena bisa menyerang seluruh lapisan usus, Crohn’s rentan menyebabkan robekan usus (perforasi), abses, dan penyempitan saluran cerna. Tidak jarang pasien harus menjalani operasi pengangkatan bagian usus yang rusak, bahkan beberapa kali selama hidupnya.

World Journal of Gastroenterology (2020) menyarankan agar pasien IBD rutin melakukan kolonoskopi setiap 1–2 tahun setelah 10 tahun diagnosis, guna mendeteksi lebih awal. Mereka juga menekankan pentingnya pengendalian peradangan sebagai langkah utama mencegah komplikasi jangka panjang.

8. Dampak Psikologis dan Kesehatan Mental

Hidup dengan penyakit kronis seperti IBD sangat memengaruhi kondisi psikologis. Kecemasan, depresi, rasa malu, hingga isolasi sosial sering dialami oleh pasien. Tidak sedikit pasien yang menghindari bepergian, takut terjadi flare-up di tempat umum, atau merasa “berbeda” karena penyakitnya tak terlihat dari luar.

Kategori :