MALANG, DISWAYMALANG.ID— Ketika sebagian besar orang merayakan malam pergantian tahun, atau malah tertidur pulas, mungkin ada sebagian yang justru sedang duduk serius untuk menulis resolusi untuk tahun berikutnya. Anda termasuk yang mana?
Ya, pergantian tahun memang identik dengan membuat resolusi. Dikutip dari Wikipedia, resolusi adalah janji seseorang untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada Hari Tahun Baru. Tradisi ini disebut juga ketetapan tahun baru, tekad tahun baru, azam tahun baru, rencana tahun baru, kegigihan tahun baru, janji tahun baru, komitmen tahun baru, keinginan tahun baru, harapan tahun baru, cita-cita tahun baru, atau niat tahun baru.
Tradisi yang lebih banyak dipraktikkan di Barat ini apakah juga berlaku di Indonesia? Disway Malang melontarkan pertanyaan kepada sejumlah emak-emak tentang resolusi tahun baru mereka.
Jawabannya beragam. Namun, paling banyak justru mengaku tidak pernah membuat resolusi.
“Saya nggak pernah bikin. Cuma menjalani saja dengan berdoa semoga semua lebih baik lagi,” kata Erni, ibu dari dua anak ABG.
Hal senada disampaikan oleh Resti, seorang ibu tunggal yang bekerja di lembaga pengelola zakat infak dan shadaqah. “ Saya nggak membuat resolusi tahunan. Cuma bikin target makin baik, makin baik, makin baik. Ikhtiar dan berdoa supaya sehat, selamat dunia akhirat tiap hari,” ujarnya.
Demikian juga jawaban Erie, seorang dokter dengan tiga orang anak. “Saya pribadi nggak punya resolusi tahunan. Tapi berdoa setiap tahun diberikan kesehatan sekeluarga, rezeki yang luas, bahagia, bisa bertemu dan jalan-jalan bersama keluarga dan teman-teman,” paparnya.
Sementara Dina, yang almarhum suaminya adalah seorang bule, mengisahkan dulu suaminya suka gemas karena istrinya tidak membuat resolusi tahunan. “Tapi aku set short term dan long term goals. Masak suami yang bikini resolusi tahunan buat aku lho!” kisahnya sambil tertawa.
Resolusi Bersama Suami
Namun, ada juga ibu-ibu yang rajin membuat resolusi, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga. Ani, seorang guru TK, setiap tahun membuat resolusi bersama suaminya. Isinya cukup lengkap. Mulai goals yang ingin dicapai setahun ke depan, beserta langkah-langkah nyatanya. “Aku tempel di pintu dapur yang mudah terlihat,” ujarnya.
Untuk resolusinya itu, Ani membuat kategori: karir, anak, kebutuhan papan, peningkatan ibadah, dan hiburan. “Untuk tahun 2025 belum bikin. Masih ada keriweuhan di rumah. Mungkin nanti menjelang malam tahun baru,” terangnya.
Membuat resolusi untuk keluarga juga dilakukan Lily, seorang pengusaha pembangunan properti. “Saya yang bikin. Poin-poinnya dengan persetujuan bersama. Ditandatangani kami berdua, saya dan suami. Lalu dievaluasi,” rincinya.
Lily juga siap untuk membuat resolusi tahun 2025. “Resolusi yang kemarin ada beberapa tercapai dan ada juga yang belum. Otomatis yang belum tercapai akan masuk list resolusi baru lagi. Ini jadi semacam penyemangat untuk kami,” lanjutnya.
88 Persen Gagal!
Sebuah studi pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Richard Wiseman dari Universitas Bristol dengan melibatkan 3.000 responden menunjukkan bahwa 88 persen dari mereka yang memiliki resolusi tahun baru gagal mewujudkannya, meskipun 52 persen dari responden yakin pada awalnya bahwa mereka akan berhasil mewujudkannya.
Sekitar 22 persen pria berhasil mewujudkan resolusi mereka saat mereka menenetapkan target, misalnya bertekad menurunkan berat badan 5 kg dalam sebulan, bukannya hanya "menurunkan berat badan" saja. Sedangkan 10 persen wanita berhasil mewujudkan resolusi mereka jika mendapat dukungan dari orang-orang terdekat.
Frank Ra, penulis buku resolusi Tahun Baru A Course in Happiness menyatakan bahwa resolusi akan lebih berkelanjutan bila kita berbagi, baik dalam hal dengan siapa Anda berbagi manfaat dari resolusi Anda, dan dengan siapa Anda berbagi jalan untuk menjaga resolusi Anda. Dukungan rekan pun membuat perbedaan dalam tingkat keberhasilan resolusi tahun baru. (*)