Keputusan Pemerintah untuk melakukan pemberian insentif untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 265,6 triliun pada tahun 2025 menuai beragam reaksi dari kalangan ekonom serta pengamat. Kendati ditujukan untuk melindungi daya beli masyarakat, kebijakan PPN 12 persen itu dinilai akan menambah beban ekonomi bagi masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah.
Menurut keterangan ekonom sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, ironi ini tidak hanya menunjukkan paradoks dalam kebijakan fiskal pemerintah, tetapi juga mengungkapkan ketidakseimbangan prioritas yang berpotensi memicu tekanan ekonomi lebih dalam bagi rakyat.
"Perkiraan kasar menunjukkan tambahan pendapatan sekitar Rp70-100 triliun per tahun. Namun, kenaikan ini tidak serta-merta mampu menutup alokasi bebas PPN sebesar Rp 265,6 triliun," jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, Rabu (18/12). Lebih lanjut lagi, Achmad menyatakan bahwa PPN adalah pajak yang bersifat regresif, artinya semua lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin, membayar tarif yang sama.
Kendati begitu, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga menambahkan bahwa perkiraan jumlah sebesar Rp265,6 triliun juga kemungkinan masih bisa bertambah menjadi lebih besar dari yang diperkirakan Menurutnya, hal ini dikarenakan sektor usaha seperti UMKM juga membutuhkan pembiayaan yang besar.
"Karena kebutuhan masyarakatnya belum mencukupi misalnya UMKM tadi ya, situasi begini pasti masih dibutuhkan untuk setengah persen pajak untuk UMKM tidak kembali ke normal gitu," ucap Tauhid ketika dihubungi oleh Disway, Selasa (17/12).
Menurut Tauhid, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kemungkinan sumber pendanaan tambahan untuk menjalankan perencanaan ini. "Kalau misalnya posisi seperti itu, maka ya harus ada katakanlah sumber yang bisa menggantikan atau sumber penerimaan, yang memungkinkan untuk mengurangi efek PPN 12 persen ini yang tidak semua dinaikkan," ucap Tauhid. (*)