LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID--Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah dikritisi dalam puncak peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) di Malang Raya, Senin (9/12) malam. Penobatan Marsinh sebagai pahlawan bukan berarti negara sudah berpihak pada kesetaraan gender.
“Proses meninggalnya Marsinah masih teka-teki. Penobatannya sebagai pahlawan bukan berarti negara sudah berpihak pada kesetaraan gender,” tegas Miri Pariyas dari Women Malang Bergerak pada acara di Nocca Caffe, Ruko Green Village, Tunggulwulung, Kota Malang, tersebut.
Acara tersebut adalah pameran arsip Marsinah dan diskusi publik “Marsinah dan Bayang-Bayang Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja”. Pameran arsip berlangsung pukul 10.00 hingga 22.00 WIB. Sementara diskusi pukul 19.00 hingga 22.00 WIB.
Diskusi menghadirkan tiga narasumber: Kriswindari (aktivis 98), Aula Nuraini (psikolog), serta Cindy Prastasia (komunitas Angkat Suara). Diskusi dipandu oleh Nofa Dyas dari Padepokan Sastra Tan Tular.
Pada sesi diskusi itulah, Miri mengatakan, memilih Marsinah bukan sekadar mengenang buruh pabrik yang dibunuh pada 1993. Tetapi sebagai upaya menguji ulang klaim negara tentang “ruang aman” bagi perempuan pekerja.
BACA JUGA:6 Desember Juga Hari 'Nol' Toleransi Kekerasan terhadap Perempuan, Ada 93 Kasus di Malang Raya
Menurutnya, peringatan 16 HAKTP justru menjadi momen refleksi apakah hak-hak mendasar perempuan pekerja, mulai cuti haid, cuti melahirkan, hingga jaminan keamanan kerja, benar-benar telah ditegakkan.
Ia menilai masalah struktural masih jauh dari selesai, terutama terkait mandeknya pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga selama 18 tahun.
Pameran Arsip: Menghadirkan Ingatan Kolektif
Foto Marsinah yang di tempel pada dinding ruangan pameran disertai dengan bunga sedap malam menambah atmosfer seakan marsinah hadir di tengah-tengah mereka yang sama-sama berjuang, Nocca Coffe, 9 Desember 2025-Martinus Ikrar Raditya-Disway Malang
Sementara itu, rangkaian arsip yang ditampilkan di lantai dasar Nocca Caffe merupakan hasil kurasi Padepokan Sastra Tan Tular Walandhit. Menurut Nofa Dyas, seluruh dokumen merupakan bagian dari koleksi Prof Hendrikus yang merupakan seorang budayawan, jurnalis, dan pengarsip.
“Ada sekitar 50 kliping lama dari koran-koran 80-an hingga 2000-an. Semuanya telah bertema, termasuk tentang kasus Marsinah,” jelas Nofa.
Arsip-arsip itu memperlihatkan pemberitaan zaman Orde Baru yang ketat sensor, rekam jejak investigasi LSM, hingga analisis hukum tentang kasus Marsinah. Pengunjung bergerak pelan dari panel ke panel, seakan-akan membaca sejarah yang ditulis dengan tinta trauma.
Peserta Diskusi Dipersilakan Tulis Pesan
Seluruh peserta yang hadir pada malam itu juga dapat menuliskan pesannya bagi para perempuan, buruh perempuan, dan mereka yang tertindas. Di sebuah pohon yang disediakan secarik kertas hitam, bertinta putih dan digantung dengan benang merah. Mereka yang telah menulis dapat membawa satu tangkai mawar merah simbol dari keanggunan, kecantikan, namun juga melindungi dirinya dengan duri yang tidak bisa di tekan sembarang oleh oknum.
Nanda, seorang yang mendesain layout pameran kali ini menuturkan, "Saya cukup bangga dengan teman-teman yang mau meluangkan waktunya untuk gelaran ini, serta kami dari Nocca Coffe memang ingin memberikan tempat bagi mereka yang ingin menyuarakan kebenarannya. Melihat effort teman-teman, jadi kami berfikir untuk menambah waktu pameran ini berlangsung hingga esok hari Rabu, 10 November 2025."