Wayang Topeng Jabung Tampil di Panggung Nasional, Bukti Tradisi Brang Wetan Tetap Eksis di Era Digital
Pertunjukan Wayang Topeng Jabung Epos Panji bertajuk “Setyåkasih--
BLIMBING, DISWAYMALANG.ID--Wayang Topeng Jabung, kesenian tradisional asal Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, kembali menegaskan eksistensinya di panggung nasional. Dalam gelaran seri terakhir pertunjukan Epos Panji bertajuk “Setyåkasih” di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Jumat (31/10), kelompok seni dari Brang Wetan itu tampil memukau. Menghadirkan semangat pelestarian budaya di tengah arus modernisasi.
Pertunjukan yang dikurasi oleh Lilik Subari, M.Sn. dan Dhimas Respati, S.Sn. ini merupakan bagian dari enam seri pementasan Wayang Topeng sepanjang tahun, hasil kolaborasi antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur serta berbagai sanggar seni. Wayang Topeng Jabung menjadi salah satu sorotan utama karena konsistensinya menjaga gaya khas Gunungsari perpaduan gerak halus dan tegas yang menjadi ciri khas Brang Wetan.
BACA JUGA: Pesan Kesetiaan dan Keteguhan Hati dari Sendratari Topeng Malangan Panji Setyakasih
“Dari Desa Kemantren hingga Gunungjati, dari panggung Krida Budaya hingga dunia digital, Topeng Brang Wetan adalah warisan hidup yang terus menumbuhkan kehidupan,” ujar Ki Demang, penggagas Kampung Budaya Polowijen, Sabtu (1/11).
Hingga kini, terdapat tiga sanggar utama yang menjadi penjaga tradisi Wayang Topeng di Jabung:
- Sanggar Mantraloka di Desa Kemantren, dipimpin oleh Muhammad Sugeng (Lyhong),
- Sanggar Darmo Langgeng di Desa Gunungjati, di bawah pimpinan Darmaji, dan
- Sanggar Gunungsari Jabung, yang digerakkan Sri Hartatik, Kepala Desa Jabung sekaligus keturunan maestro topeng Malang, Ki Tjodro Suwono.
Para penari muda yang bergabung berasal dari berbagai latar belakang — mulai dari pelajar, pekerja serabutan, hingga mantan preman. Mereka menemukan makna baru dalam topeng: sebagai wadah ekspresi, penyembuhan, sekaligus kebanggaan identitas budaya.
Lakon Setyåkasih karya sutradara Bowo Supriatim dan koreografer Tulus Tri Sumanto serta Binti Ayu memadukan unsur tradisi dan teknologi. Musik garapan M. Deva Akbar Risman memanfaatkan gending topeng klasik dengan sentuhan elektronik modern, menghasilkan atmosfer futuristik tanpa meninggalkan ruh tradisi.
Menurut Joko Susilo dari STKW Surabaya, pementasan ini menunjukkan arah baru bagi kesenian rakyat. “Tradisi kini bisa berdialog dengan teknologi tanpa kehilangan jiwanya,” ujarnya.
Namun, dalam pertunjukan kali ini, Tari Gunungsari —yang biasa menjadi penutup megah setiap gebyak— tidak ditampilkan. Absennya tarian ini menjadi refleksi tentang perubahan zaman dan pentingnya menjaga kesetiaan terhadap akar budaya.
BACA JUGA: Belum Genap Sebulan, Film Abadi Nan Jaya Masuk Peringkat Satu Top Global Netflix
Pegiat Topeng: Perlu Masuki Era Digital Heritage Theater
Pegiat topeng Muhammad Masai menilai Wayang Topeng Jabung perlu memasuki era Digital Heritage Theatre, di mana setiap pertunjukan direkam dan diarsipkan secara digital agar bisa diakses generasi mendatang.
Sumber:
