Hari Jurnalis Internasional 19 November: Kebebasan Pers Indonesia Masih Terdesak, Ingat Teror Kepala Babi!
Peringatan Hari Jurnalis Internasional Pada 19 November --getty images
MALANG, DISWAYMALANG.ID--Peringatan Hari Jurnalis Internasional yang jatuh setiap 19 November menjadi alarm keras bagi dunia pers Indonesia. Di tengah apresiasi terhadap kerja jurnalistik, berbagai laporan justru menunjukkan meningkatnya tekanan, intimidasi, dan ancaman yang membayangi para jurnalis di tanah air.
Sejarah dan Makna Hari Jurnalis Internasional
Hari Jurnalis Internasional diperingati sebagai bentuk penghormatan terhadap para wartawan dan jurnalis yang bekerja untuk menyajikan informasi akurat kepada publik. Momen ini lahir untuk menegaskan pentingnya kebebasan pers, keselamatan jurnalis, dan peran media sebagai pilar demokrasi.
Menurut catatan sejarah media, jurnalisme telah ada sejak zaman Dinasti Han di Tiongkok (sekitar 206 SM–220 M), di mana orang sudah menggunakan semacam buletin berita untuk menyebarkan informasi secara rutin. Sedangkan di Eropa, koran pertama yang dikenal luas adalah karya Johann Carolus di Strasbourg pada awal abad ke-17.
Peringatan ini tidak hanya simbolis. Dengan menetapkan satu hari khusus, dunia mengakui pengorbanan jurnalis, mulai dari risiko kematian, serangan fisik, intimidasi, hingga tekanan politik dan ekonomi. Hari ini juga menjadi momen reflektif dari pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi dan saluran informasi yang jujur dan independen.
BACA JUGA:Hari Penulis yang Dipenjara 15 November: Di Indonesia Ada Pramoedya hingga Mochtar Lubis
Realitas Kebebasan Pers di Indonesia
1. Penurunan Indeks Kebebasan Pers
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, kebebasan pers di Tanah Air terus memburuk. Berdasarkan laporan AJI Mei 2025, sudah ada 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis di awal tahun. Termasuk serangan fisik dan intimidasi saat meliput aksi publik. RSF (Reporters Without Borders) juga menyoroti hal ini. Dalam World Press Freedom Index 2025, posisi Indonesia turun drastis ke peringkat 127 dari 180 negara.
2. Kekerasan terhadap Jurnalis: Angka dan Bentuknya
Menurut survei AJI terhadap 2.020 jurnalis, 75,1% responden menyatakan pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital. Lebih jauh, laporan GoodStats (mengutip data AJI) mencatat 73 kasus kekerasan sepanjang tahun 2024. Termasuk teror, larangan peliputan, intimidasi, serangan digital, hingga kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan juga menyoroti bahwa jurnalis perempuan rentan mengalami kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Penurunan skor World Press Freedom Index 2025, yang menempatkan Indonesia di posisi bawah daftar global, menguatkan temuan tersebut. Tekanan politik, kriminalisasi melalui regulasi seperti UU ITE, serta sensor internal dan eksternal menjadi faktor yang paling memengaruhi independensi jurnalisme.
3. Indeks Keselamatan Jurnalis: Ada Perbaikan, Kekhawatiran Bertahan
Menurut Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang dirilis Yayasan TIFA (oleh Populix). Skor meningkat menjadi 60,5 (kategori “agak terlindungi”), naik 0,7 poin dari tahun sebelumnya. Meski demikian, 66% jurnalis menyatakan bahwa mereka lebih berhati-hati dalam membuat berita karena khawatir akan kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak.
Laporan tersebut juga memprediksi bahwa kekerasan berupa pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%) akan meningkat dalam lima tahun ke depan.
BACA JUGA:Symphonic Metal Day 13 November: Jejaknya dari Eropa hingga Indonesia, Ini 9 Lagu Kerennya
Sumber: liansi jurnalis independen indonesia
