Belajar Public Speaking Sejak Dini: Bekal Emosional dan Karakter bagi Generasi Muda
Ilustrasi anak berani berbicara di depan teman kelasnya--pinterest/rank magic
Kamelia bahkan menyebut bahwa pendekatan seperti ini pernah dilakukan di masa Orde Baru melalui program "Klompencapir", meskipun tentu dalam konteks dan era yang berbeda.
Belajar dari Rumah, Dilatih di Sekolah
Lalu, bagaimana membangun keterampilan public speaking pada anak sejak dini? Kamelia menjelaskan bahwa latihan paling awal bisa dimulai dari rumah.
“Orangtua perlu memberikan ruang kepada anak untuk bercerita. Misalnya, saat makan bersama, anak diberi kesempatan untuk menceritakan kegiatan hari itu. Itu adalah bentuk awal latihan public speaking yang sangat efektif,” jelasnya.
Di sekolah, praktik ini sebenarnya sudah mulai dilakukan, terutama di sekolah-sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka.
Dalam kurikulum tersebut, terdapat penugasan yang mengharuskan siswa mempresentasikan proyek atau gagasannya di depan kelas.
Namun, Kamelia menilai bahwa implementasi di lapangan masih bergantung pada kesiapan guru.
“Peran guru sangat penting. Masih banyak guru yang belum membiasakan murid untuk tampil. Padahal, tidak semua anak berani berbicara di depan kelas. Tapi tidak berani bukan berarti tidak bisa. Mereka butuh kepercayaan dan dorongan,” tambahnya.
Public Speaking Sebagai Pendidikan Karakter
Lebih dari sekadar keterampilan teknis, public speaking bisa menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter siswa.
Anak-anak yang terbiasa berbicara di depan umum dengan percaya diri, secara tidak langsung dilatih untuk memiliki rasa tanggung jawab terhadap pendapat yang disampaikan, empati terhadap pendengar, serta keberanian untuk bersuara tanpa harus menyakiti.
“Kalau sering diberi kesempatan dan kepercayaan, perlahan mereka bisa mengelola emosi seperti takut, khawatir, atau grogi. Tidak ada yang instan. Semua butuh proses,” tegas Kamelia.
Keterampilan ini menjadi sangat penting terutama dalam menghadapi dunia nyata yang menuntut keberanian bersuara, baik dalam dunia kerja, komunitas, maupun ruang sosial digital yang semakin terbuka.
Potensi siswa atau mahasiswa sebagai komunikator publik seharusnya tidak dibendung hanya karena usia atau emosi yang belum stabil.
Justru dengan latihan sejak dini, ruang berekspresi yang aman, dan dukungan dari lingkungan sekitar, anak-anak muda Indonesia bisa tumbuh menjadi pembicara yang cerdas, bijak, dan berpengaruh.
“Public speaking bukan soal siapa yang paling lantang, tapi siapa yang paling tulus, percaya diri, dan bisa menggerakkan orang lain lewat kata-katanya,” pungkas Kamelia.
Sumber:
