Korban Tembus 867 Tewas, 521 Hilang! Guru Besar UB: Indikasi Penebangan Hutan di Balik Banjir Besar Sumatera
Prof Sukir Maryanto SSi MSi PhD menilai banyaknya batang kayu yang terbawa arus banjir menunjukkan indikasi kuat adanya penebangan hutan yang perlu segera dievaluasi. -kumparan--
LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID– Bencana banjir besar di tiga provinsi di Pulau Sumatera memunculkan sorotan terhadap persoalan lingkungan dan lemahnya sistem mitigasi bencana di Indonesia. Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Prof Sukir Maryanto SSi MSi PhD menilai banyaknya batang kayu yang terbawa arus banjir menunjukkan indikasi kuat adanya penebangan hutan yang perlu segera dievaluasi.
“Banyak kayu-kayu yang terhanyut banjir. Itu indikasinya ada penebangan hutan di situ,” ujar Prof Sukir di Malang, dikutip Jumat (5/12).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperbarui data korban banjir dan longsor yang melanda Provinsi Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. Hingga Jumat (5/12), total korban meninggal dunia tercatat 867 orang, sementara 521 lainnya masih dalam pencarian.

Kondisi Aceh, salah satu dari tiga provinsi di Pulau Suma yang luluh lantak pasca banjir bandang. -antara via cnni--
Prof Sukir menjelaskan, deforestasi masih menjadi persoalan krusial, terutama karena Indonesia berada “di bawah rata-rata dunia” dalam standar pengelolaan hutan berkelanjutan.
Menurutnya, beberapa program pemerintah di masa lalu, seperti ekspansi lahan transmigrasi, perkebunan karet, dan sawit, tidak sedikit yang mengorbankan tutupan hutan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Prof Sukir mengingat masa ketika ia menjadi transmigran di Sumatera, melihat langsung pohon-pohon besar ditebang untuk pembukaan lahan. Ia menyebut kondisi serupa terjadi di berbagai hutan di Sumatera dan Kalimantan.
“Banyak kasus pemanfaatan hutan tidak sesuai desain lingkungan, sehingga banjir kerap muncul,” katanya.
Selain faktor deforestasi, cuaca ekstrem juga disebut menjadi pemicu utama terjadinya banjir. Ia menjelaskan bahwa periode September hingga Februari merupakan fase cuaca ekstrem tahunan di Indonesia. “Saat ini kondisi cuaca ekstrem. Siklus ini terjadi tiap tahun,” katanya.
Meski demikian, ia menilai mitigasi bencana dapat dilakukan dengan lebih baik apabila sistem informasi cuaca di Indonesia bekerja secara optimal. Ia membandingkan kemampuan peringatan dini Indonesia dengan Jepang yang dinilai jauh lebih presisi dan terstruktur.
“Di Jepang, ramalan cuaca tersedia per jam dan per wilayah kecil seperti kecamatan. Informasinya ada di TV publik, transportasi umum, hingga situs pemerintah,” jelasnya. Menurutnya, sistem ini memungkinkan masyarakat mengantisipasi hujan, angin kencang, atau bencana lainnya lebih cepat dan akurat.
Ia mengatakan BMKG perlu meningkatkan fungsi informasi dan sosialisasi, termasuk memperkuat kolaborasi dengan BRIN, badan geologi, serta perguruan tinggi. Menurutnya, koordinasi antarlembaga masih lemah sehingga data dan peralatan pemantauan bencana belum terintegrasi dengan baik.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Sukir juga mengungkap temuan anomali sinyal MAGDAS (Magnetic Data Acquisition System) di Stasiun Cangar yang dikelola UB. Anomali tersebut muncul berdekatan dengan aktivitas erupsi Gunung Semeru. “Ada sinyal besar di Cangar, sementara stasiun lain di Malaysia atau Australia tidak merekamnya,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia sebagai akademisi tidak memiliki wewenang memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Kewenangan tersebut berada pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). “Kami hanya melakukan analisis. Peringatan resmi adalah kewenangan PVMBG,” tegasnya.
Ia menambahkan, setiap gunung api memiliki karakteristik berbeda, sehingga penelitian khusus diperlukan untuk menentukan pola aktivitas dan ambang batas masing-masing gunung. “Gunung api punya napas berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisasi,” katanya.
Prof Sukir berharap pemerintah memperkuat pengawasan lingkungan, meningkatkan akurasi informasi cuaca, serta menstandardisasi peralatan pemantauan bencana di seluruh lembaga. Menurutnya, langkah-langkah tersebut penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko bencana di masa depan.
Sumber: prasetya.ub.ac.id
