MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Setiap tanggal 24 Mei, dunia memperingati Hari Kesadaran Skizofrenia Sedunia, sebuah momentum global untuk menyuarakan bahwa hidup dengan gangguan kejiwaan seperti skizofrenia bukanlah akhir dari segalanya.
Ini adalah kesempatan bagi masyarakat untuk mengedukasi diri tentang skizofrenia, menghapus stigma, dan memberikan ruang empati bagi para penyintas yang selama ini terjebak dalam kesalahpahaman sosial.
Hari ini bukan tentang takut atau menjauh, melainkan tentang mendekat dan memahami kondisi yang kompleks namun bisa dikelola dengan pendekatan medis dan psikososial yang tepat.
Kita hidup di dunia yang sudah lebih terbuka membahas kesehatan mental, namun skizofrenia masih jadi momok. Ia seringkali dianggap sebagai “penyakit gila” atau bahkan dikaitkan dengan hal mistis. Padahal, di balik label itu, skizofrenia adalah gangguan neuropsikiatri yang dapat menyerang siapa pun, tanpa mengenal latar belakang ekonomi, agama, atau pendidikan.
Melalui peringatan ini, dunia didorong untuk membuka lebih banyak diskusi, merangkul lebih luas dukungan, dan menormalisasi bahwa orang dengan skizofrenia juga bisa menjalani hidup bermakna.
1. Apa Itu Skizofrenia: Bukan "Gila", Tapi Gangguan Neuropsikiatri Serius
Skizofrenia adalah gangguan mental berat yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Mereka yang mengalami skizofrenia bisa mengalami delusi (percaya pada hal yang salah), halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada), dan gangguan berpikir atau berbicara. Di sisi lain, mereka juga bisa mengalami penurunan emosi, kehilangan motivasi, dan penarikan diri dari lingkungan sosial. Diagnosis skizofrenia ditegakkan jika gejala-gejala ini berlangsung lebih dari enam bulan dan menyebabkan gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun terdengar menakutkan, skizofrenia bukanlah “kepribadian ganda” seperti yang sering salah kaprah diyakini masyarakat. Skizofrenia lebih tepat disebut sebagai gangguan spektrum, artinya gejalanya bisa sangat beragam dari orang ke orang. Ada yang mengalami gejala ringan dan bisa hidup mandiri, ada pula yang membutuhkan pengawasan intensif. Oleh karena itu, penting untuk tidak menyeragamkan pengalaman semua penyintas skizofrenia, dan lebih penting lagi: untuk berhenti menyederhanakan kondisi ini dengan label “gila”.
2. Data Global: Tak Banyak Tapi Berdampak Dalam
Menurut laporan WHO, sekitar 24 juta orang di dunia hidup dengan skizofrenia, atau sekitar 0,3 persen dari populasi global. Meski terlihat kecil, beban disabilitas akibat gangguan ini luar biasa besar. Skizofrenia menempati posisi tinggi dalam beban gangguan kesehatan mental yang menyebabkan ketidakmampuan jangka panjang. Orang dengan skizofrenia lebih rentan putus sekolah, kehilangan pekerjaan, mengalami diskriminasi, bahkan kehilangan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa dampak sosial skizofrenia lebih luas daripada yang tampak di permukaan.
3. Penyebab Skizofrenia: Antara Gen, Otak, dan Lingkungan
Skizofrenia tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan gabungan kompleks dari faktor biologis, genetik, dan lingkungan. Dari sisi genetik, individu dengan riwayat keluarga yang mengalami skizofrenia memiliki risiko lebih tinggi. Penelitian dalam jurnal Nature Genetics (2022) mengidentifikasi lebih dari 100 variasi gen yang berkontribusi terhadap risiko munculnya skizofrenia. Namun genetik bukan takdir mutlak—banyak orang dengan gen pembawa risiko tidak mengembangkan penyakit ini, menunjukkan bahwa faktor lain turut berperan penting.
Dari aspek neurologis, hasil neuroimaging menunjukkan adanya gangguan dalam struktur dan fungsi otak pada penderita skizofrenia. Beberapa studi menemukan pengecilan volume otak di area hippocampus dan prefrontal cortex—wilayah yang mengatur memori dan pengambilan keputusan. Selain itu, paparan stres berat di masa anak-anak, infeksi virus saat kehamilan, kurang nutrisi janin, hingga penyalahgunaan zat seperti ganja dan methamphetamine, terbukti dapat memicu munculnya gejala skizofrenia, khususnya jika individu sudah memiliki kerentanan biologis sebelumnya.
4. Gejala Positif dan Negatif: Dua Sisi dari Koin yang Sama
Gejala skizofrenia biasanya dibagi menjadi dua kelompok besar: gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif bukan berarti “baik”, melainkan mengacu pada penambahan pengalaman abnormal, seperti delusi dan halusinasi. Penderita bisa merasa sedang diawasi oleh pemerintah, percaya dirinya nabi, atau mendengar suara-suara yang memerintah mereka untuk melakukan sesuatu. Ini bisa sangat mengganggu dan menakutkan, bahkan membuat penderita merespons terhadap sesuatu yang tidak nyata.