Tema Hari Telekomunikasi 2025, Kesetaraan Gender dalam Transformasi Digital, Ini Fakta Kekerasan Digital

Sabtu 17-05-2025,17:00 WIB
Reporter : Immanuela Regina
Editor : Agung Pamujo

MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Setiap 17 Mei, dunia memperingati World Telecommunication and Information Society Day (WTISD), tahun ini mengusung tema kesetaraan gender dalam transformasi digital / Gender Equality in Digital Transformation.

Tema ini mengangkat pertanyaan besar: jika digitalisasi menginginkan kesetaraan gender dalam transformasinya, bagaimana faktanya? apakah perempuan masih rentan menjadi korban di ruang digital?

Salah satu bentuk eksklusi yang jarang dibahas secara terbuka adalah kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi (Technology-Facilitated Gender-Based Violence atau TFGBV).

Di saat dunia merayakan kemajuan telekomunikasi dan inovasi digital, nyatanya, masih banyak perempuan justru merasa dunia maya bukan tempat yang aman.

Simak faktanya dibawah ini!

1. Kekerasan Digital Semakin Umum, Tapi Masih Diabaikan

Menurut data dari European Institute for Gender Equality (2022), sekitar 10 dari 15 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan online dalam bentuk pelecehan seksual, penyebaran gambar tanpa izin, hingga ancaman pembunuhan. UN Women (2024) juga mencatat bahwa perempuan dua kali lebih mungkin dibanding pria untuk menjadi korban doxxing atau penguntitan digital.

Penelitian dari jurnal Feminist Media Studies (University of Illinois, 2021) menyebutkan bahwa kekerasan digital ini berakar dari kesenjangan kekuasaan berbasis gender, yang kini terbawa ke dunia digital. Sayangnya, banyak negara belum memiliki regulasi yang spesifik untuk menjawab kekerasan berbasis teknologi.

2. Dampak Psikologis dan Sosial: Sunyi di Tengah Keramaian Digital

Ketika perempuan menjadi sasaran kekerasan digital, mereka tidak hanya mengalami tekanan mental, tapi juga mundur dari ruang publik daring. Laporan dari World Bank menyebutkan bahwa korban kekerasan digital cenderung membatasi aktivitas online mereka, termasuk berhenti berbagi opini, menutup akun, hingga kehilangan peluang profesional.

Jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking (Liebertpub 2022) mencatat bahwa  sebanyak 65% perempuan pernah mengalami pelecehan digital dan akhirnya menunjukkan gejala depresi dan kecemasan yang mirip dengan korban kekerasan fisik langsung. Ini menunjukkan bahwa kekerasan digital bukan “masalah sepele”, tapi krisis serius yang butuh intervensi sistemik.

3. Ruang Digital Belum Netral Gender

Sementara WTISD menyoroti pentingnya kesetaraan gender dalam dunia digital, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa platform digital sendiri belum cukup aman bagi perempuan. Moderasi konten yang bias algoritma, lemahnya pelaporan, serta minimnya representasi perempuan dalam industri teknologi membuat perlindungan gender jadi sulit.

Dalam jurnal AI & Society (2023), ditemukan bahwa sistem kecerdasan buatan saat ini cenderung meniru bias manusia, sehingga memiliki probabilitas sebanyak 60% untuk memperparah marginalisasi kelompok tertentu — termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa transformasi digital perlu dikawal secara etis dan adil.

4. Mengubah Ruang Digital Lewat Regulasi dan Literasi

Kategori :