Tulisan ini adalah karya Arini Jauhari, SH, MKN dan isinya merupakan salah satu pokok pikiran dalam ujian terbuka disertasi “Lembaga Cyber Notary Berkepastian Hukum” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Kamis 16 Januari 2025. Bagaimana tafsir sebuah asas bisa menghambat kemajuan notaris elektronik (cyber notary) selama 11 tahun belakangan ini. Sehari-hari penulis adalah notaris, serta ketua Pengda Ikatan Notaris Indonesia (INI) Malang Raya dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Malang.
---------------
CYBER notary jelas merupakan pasal hukum yang sangat maju di Indonesia sejak 2014. Bayangkan, notaris Indonesia melayani transaksi klien secara jarak jauh. Memanfaatkan telekoferensi audio visual. Setelah sepakat, aktanya ditandatangani dan distempel secara elektronik. Perjanjian transaksi itu diwujudkan dalam akta elektronik, yang kekuatannya sama dengan dokumen fisik berbasis kertas.
Transaksi jadi hemat biaya transportasi, hemat kertas, hemat waktu, serta secanggih dengan rekan-rekan sejawatnya di negara-negara maju yang sudah menerapkan cyber notary atau e-notary atau notaris jarak jauh. Klien lebih bahagia, karena dalam keribetan dari keharusan berhadapan fisik dalam transaksi teratasi oleh teknologi elektronik.
Bayangkan! Karena memang baru bisa membayangkan. Padahal aturan hukumnya sudah resmi ada sejak 2014. Namun setelah 11 tahun berjalan, aturan itu hanya canggih di atas kertas. Padahal bunyi aturannya sangat jelas di Pasal 15 Ayat (3) UU No. 2/2014 tentang Jabata Notaris (UUJN). “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.” Penjelasan resminya: “Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi (mestinya menyertifikasi, Red.) transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Berarti selain kewenangan membuat akta, juga diberi kewenangan lain, antara lain cyber notary.
Kewenangan cyber notary ini tak pernah menjadi kenyataan, karena peraturan yang melengkapinya tak pernah diterbitkan. Bahkan dalam UU ITE, UU Perseroan Terbatas, dan KUH Perdata, bahkan UUJN sendiri turut menghambat pelaksanannya. Titik utama problemnya pada asas berbahasa Latin yang selalu dipegang erat oleh dunia notaris Indonesia. Yakni, asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo. Bunyinya keren. Tetapi terjadi kejumudan dalam penafsirannya. Karena dimaknai sebagai “notaris bekerja secara tradisional”.
Asas ini entah kapan lahirnya. Yang jelas jadul. Bahkan, jakun (jaman kuno). Tafsirnya sama kunonya, yakni berpegang erat pada “cara tradisional”. Yang ditafsirkan lebih lanjut, bahwa transaski dengan notaris harus berhadapan fisik, pakai stempel dan tanda tangan basah, berbasis dokumen tertulis (kertas).
Kertas dimasukkan dalam tafsir asas atau prinsip kerja notaris, berarti usia asas itu setidaknya ketika notaris menggunakan kertas. Dan ini tak main-main. Notaris mulai melayani klien yang membuat perjanjian, sebagai pihak ketiga terpercaya (the third trusted party), diketahui sejak tahun 2750 sebelum Masehi di Mesir! Hampir 5.000 tahun lalu! Dan, ditemukan akta notaris kuno di lembar-lembar papirus (paper/kertas). Di Indonesia, profesi notaris juga cukup tua, sejak 400 tahun lalu, yakni 1620.
Tradisi notaris empat millennium itu terbiasa dengan berhadapan fisik dan dokumen tertulis dalam kertas. Tentu saja temuan teknologi luar biasa, berbasis elektronik sibernetika, yang bisa meringkas ruang dan waktu, serta komunikasi jarak jauh bisa dilakukan tanpa bertemu fisik, serta dokumen bisa disepakati tanpa tanda tangan basah, menantang secara langsung kebiasaan notaris jakun itu.
Lucunya, banyak yang langsung siap berubah. Kebanyakan negara tak keberatan mengubah cara kerja notaris dengan memanfaatkan teknologi elektronik. Terutama di negara-negara maju, seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Begitu ditemukan teknologi elektronik yang memungkinkan telekonferensi audiovisual, pengesahan tanda tangan dan stempel elektronik, maka dimulaikan cyber notary atau e-notary. Dimulai pada awal 2000-an sampai menemukan bentuknya sekitar satu dasawarsa kemudian. Belanda, penjajah yang juga memperkenalkan profesi notaris di Indonesia, juga memulai cyber notary pada 2014 dengan menyesuaikan undang-undangnya. Sekarang sudah sangat maju, bahkan terkoneksi dengan seluruh 28 negara Uni Eropa lainnya.
Yang tidak lucu adalah yang tidak siap berubah. Indonesia mencantumkan kewenangan cyber notary pada 2014. Tetapi tak berlanjut dengan pelaksanaan, karena kosong aturan pelaksanaan. Yang lebih berat, tetap berpegang tafsir tradisional dalam asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo itu fanatik diikuti Indonesia. Ketika diketikkan di google, asas “Tabellionis…” itu yang keluar hampir semua dokumen yang terkait notaris Indonesia. Kalau diketikkan ke google book, yang muncul terkait dengan buku-buku yang ditulis pakar Indonesia. Kalaupun kata “tabellionis”, “officium”, “fideliter”, “exercebo”, muncul secara terpisah ataupun satu rangkaian itu terkait buku-buku tua abad ke-18. Buku-buku asing yang baru tentang kenotariatan, sama sekali tak pernah menyebut asas “Tabellionis…” itu.
Bila asas di atas diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kata per kata: (a) Tabellionis: = petugas hukum, orang yang membuat surat-surat hukum, (b) Officium = tugas, pelayanan, (c) Fideliter= setia, loyal, setia/setia/berbakti, jujur/benar/dapat dipercaya/dapat diandalkan/dapat diandalkan, konstan/abadi, (d) Exercebo = melatih, mendisiplinkan, mendalami (kompeten).
Jadi, dunia notaris Indonesia seperti kecele. Negara-negara lain sudah tidak “peduli” pada asas notaris harus bekerja secara tradisional. Mereka dengan semangat mengadopsi kemajuan teknologi. Tetapi, Indonesia malah menjadikannya sebagai “alasan” untuk menjauhi teknologi elektronik nan canggih (cyber notary). Padahal kalau mau membuka pikiran, “fideliter” itu bisa berarti “terpercaya”, “jujur”. Cukup dengan mengaktualkan tafsir, maka hambatan cyber notary bisa diatasi. “Notaris melayani dengan terpercaya dan kompeten”.
Semoga cyber notary di Indonesia tidak terus menerus jadi hukum yang menggantung tanpa berpijak di bumi. Bisa segera dilaksanakan, agar pelayanan masyarakat makin efisien, serta membuat suasana transaksi (bisnis) makin semarak di era haus investasi saat ini.(*)