JAKARTA, DISWAYMALANG.ID--Teknologi kedokteran dan perkembangan global saat ini dijadikan acuan untuk menetapkan sumpah dokter dan kode etik kedokteran yang baru. Dua hal tersebut saat ini tengah dalam pengkajian oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI).
Pengkajian ini dilakukan MKEK IDI pada kegiatan rapat kerja yang berlangsung akhir pekan ini, 17 November 2024. Selanjutnya, akan dibahas bersama dengan MKEK IDI dari wilayah provinsi hingga cabang kabupaten/kota.
Menurut Ketua MKEK IDI dr Djoko Widyarto, DS, DHM, MHKes, kode etik kedokteran yang berlaku saat ini dibuat tahun 2012..
"Ada 21 pasal dan kita sudah melihat bahwa apa yang ada di kode etik itu perlu disesuaikan dengan perkembangan. Misalnya kita bicara dulu MDGs, sekarang sudah SDGs," katanya pada konferensi pers di Jakarta, baru-baru ini.
dr. Djoko menyebut, ada beberapa ketentuan yang belum diatur. "Misalnya telemedisin, boleh tidaknya dokter itu menghentikan pelayanan kepada pasien, itu perlu kita cermati bersama," ucapnya.
Perubahan kode etik in, lanjut dia, nantinya akan mengacu pada standar global dari World Medical Association yang telah merevisi Sumpah Dokter pada 2017 lalu.
"Jadi sudah cukup lama. Cuma kita belum menyesuaikan dengan situasi yang ada di Sumpah Dokter yang baru, yang sekarang namanya bukan 'sumpah', tapi 'janji'. Menurut internasional namanya Janji Dokter," paparnya.
"Kemudian baru dua tahun yang lalu juga ada perubahan kode etika internasional yang disahkan di Berlin Kemarin, 2022," tambahnya.
Wakil Ketua Divisi Kemahkamahan MKEK IDI Dr dr Bahtiar Husain, SpP, MHKes menambahkan, kode etik ini menjadi pilar pembentuk profesionalisme dokter di samping keilmuan, keterampilan, dan perilaku.
"Besok akan kita bahas dan itu pun belum disahkan. Masih menunggu muktamar di Lombok nanti bulan Februari (2025), setelah itu baru sah dan akan berlaku," lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasehat MKEK IDI Prof. Dr. Med. dr. Frans Santosa, SpJP(K), FIHA menegaskan bahwa kode etik ini bukan sekadar aturan yang mengikat, tetapi juga mencegah sengketa antara dokter dan pasien.
"Sejauh setiap dokter mematuhi kode etik kedokteran itu dengan baik, maka tidak akan ada masalah yang terjadi seperti dugaan sengketa dokter pasien, dokter-dokter, dokter dan institusi, dan lain-lain,” ucapnya.
Frans menjelaskan bahwa pengkajian bukan hanya merujuk pada aturan internasional, tetapi juga mengadopsi kearifan lokal.
"Acuannya adalah kode etik internasional yang baru, namun kita juga harus memperhatikan local wisdom, kearifan lokal yang ada di bangsa kita ini. Kita beda dengan mereka (negara asing), gotong royong, tolong menolong, itu kan satu kearifan bangsa Indonesia," kata Djoko