Tradisi Muludan di Malang Raya Masih Lestari, Jadi Ruang Kebersamaan dan Syukur
--
POLOWIJEN, DISWAYMALANG.ID - Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang akrab disebut Muludan di Malang Raya masih berlangsung meriah dengan ciri khas masing-masing kampung. Tradisi ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga ruang kebersamaan dan sarana memperkuat identitas budaya Jawa.
Tiga kampung menjadi contoh utama pelestarian tradisi tersebut, yakni Kampung Budaya Polowijen, Kampung Grabah Penanggungan, dan Kampung Gribig Religi. Masing-masing menghadirkan bentuk perayaan yang unik, namun tetap berakar pada semangat syukur dan doa bersama.
Di Kampung Budaya Polowijen, warga menggelar selamatan Muludan dengan beragam sajian simbolis, mulai dari bubur sumsum, tumpeng buceng, tumpeng buah, hingga sego gurih iwak ingkung. Ki Demang, penggagas kampung budaya tersebut, menegaskan bahwa tradisi ini bukan sekadar makan bersama, melainkan sarana edukasi budaya.
“Lewat tradisi Muludan, kita belajar makna syukur dan kebersamaan. Sajian itu semua punya filosofi, bukan sekadar hidangan,” ujarnya.
Berbeda dengan Polowijen, Kampung Grabah Penanggungan menonjolkan ritual pecah ajang. Warga mengisi piring gerabah dengan makanan, kemudian memecahkannya setelah doa bersama. Ketua Kampung Grabah, Hariyono, menjelaskan bahwa tradisi ini melambangkan pelepasan bala sekaligus memperkuat ikatan warga.
“Ajang layah yang dipecah bersama adalah simbol membuang kesialan dan membuka jalan hidup baru. Justru setelah itu kebersamaan makin erat,” jelasnya.
Sementara di Kampung Gribig Religi, Muludan dihubungkan dengan tradisi ziarah. Setelah doa bersama, warga membagikan bubur sumsum dan tumpeng nasi gurih kepada peziarah. Ketua Pokdarwis Kampung Gribig, Devi Nurhadyanto, menyebut tradisi ini sebagai bentuk sedekah dan solidaritas sosial.
“Berkah itu semakin besar kalau dibagi. Peziarah pulang tidak hanya kenyang, tapi juga membawa doa,” katanya.
Selain di Malang Raya, tradisi Muludan juga dikenal luas di berbagai daerah di Jawa, mulai dari Grebeg Mulud di Yogyakarta, Panjang Jimat di Cirebon, hingga tradisi sedekah makanan di Madura.
Meski berbeda bentuk, benang merahnya tetap sama: syukur, doa keselamatan, dan solidaritas sosial. Tradisi Muludan menjadi bukti bahwa budaya lokal Jawa mampu beradaptasi sekaligus menjaga nilai kebersamaan di tengah perubahan zaman. (ab)
Sumber:
