Sejarah Keraton Surakarta, Peninggalan Penting dari Kerajaan Mataram Islam
Kabar duka datang dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII Hangabehi meninggal dunia--Traveloka--
SURAKARTA, DISWAYMALANG–Kabar duka datang dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII Hangabehi meninggal dunia pada Minggu, 2 November 2025. PB XIII meninggal dunia di RS Indriati Solo Baru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pukul 07.29 WIB. PB XIII merupakan raja Keraton Surakarta Hadiningrat di Kota Solo yang sudah naik tahta sejak 2004.
Sementara itu, Keraton Surakarta merupakan salah satu peninggalan penting dari masa kejayaan Mataram Islam. Letaknya berada di jantung Kota Surakarta (Solo).
Keraton ini menjadi simbol kebudayaan Jawa dan saksi bisu perjalanan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hingga saat ini, Keraton Surakarta masih berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga besar Kasunanan dan pusat pelestarian tradisi kesunanan.
Sejarah Keraton Surakarta
Berdirinya Keraton Surakarta tak lepas dari penyerangan terhadap Keraton Kartasura (istana Kerajaan Mataram Islam) pada tahun 1743. Wilayah Mataram Islam kala itu tengah dilanda kekacauan akibat peristiwa Geger Pecinan.
Pemberontakan besar yang dipelopori oleh penduduk Tionghoa terhadap kekuasaan Belanda dan sekutunya menjadikan Susuhunan Pakubuwono II sebagai sasaran amarah pemberontak karena dianggap berpihak kepada Belanda.
Akibat serangan itu, Keraton Kartasura porak-poranda dan tidak layak lagi dijadikan pusat pemerintahan. Pakubuwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo untuk menyelamatkan diri.
Saat situasi mulai terkendali dan Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi buru yang lebih aman dan strategis. Pilihannya jatuh pada Desa Sala, wilayah di tepi Sungai Bengawan Solo.
Pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat dimulai pada tahun 1744 dan mulai ditempati pada 1746, meski belum selesai sepenuhnya. Sejak saat itu, wilayah ini resmi menjadi pusat pemerintahan Mataram Islam di bawah pimpinan Pakubuwono II hingga wafatnya pada 1749.
Pembangunan keraton kemudian dilanjutkan oleh penerusnya setelah Pakubuwono II meninggal, terutama Pakubuwono III.
Pada masa pemerintahannya, kompleks keraton dilengkapi dengan sejumlah bangunan penting seperti Masjid Agung Surakarta, Sitihinggil, dan Pintu Srimanganti yang berfungsi sebagian bagian integral dari tata ruang keraton dan kegiatan ada ksunanan.
Namun, konflik internal mewarnai masa pemerintahan Pakubuwono III. Kala itu terjadi perlawanan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Pertikaian panjang ini akhirnya berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang menjadi akhir Mataram Islam.
Perjanjian Giyanti
Dalam sejarah Keraton Surakarta Perjanjian Giyanti menjadi titik penting. Dalam kesepakatan tersebut, Kerajaan Mataram Islam resmi terbagi menjadi dua kekuasaan.
Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang naik tahta dengan gelar Hamengku Buwono (HB) I. Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tetap berada di bawah kekuasaan Pakubuwono III.
Sejak saat itu, Keraton Surakarta menjadi pusat pemerintah resmi Kasunanan Surakarta, sementara Yogyakarta berdiri sebagai entitas terpisah.
Kedua kerajaan ini kemudian berkembang dengan tradisi dan sistem kebudayaan masing-masing, namun tetap berakar pada warisan Mataram Islam.
Keraton Surakarta merupakan pusat warisan budaya Jawa yang masih hidup hingga kini. Berbagai tradisi kesunanan seperti upacara adat, gamelan, tarian-tarian klasik, hingga busana kebesaran masih terus dilestarikan.
Beberapa acara adat Keraton Surakarta yang bisa disaksikan, yakni Gamelan Sekaten, Grebeg Maulid, Kirab Pusaka Malam 1 Suro, Malam Selikuran (malam 21 Ramadhan).
Sosok Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII yang Tutup Usia

Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII wafat pada Minggu, 2 November 2025, pada usia 77 tahun, Minggu, 2 Oktober 2025.--Wikipedia.--
Kembali ke Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII, raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu wafat pada Minggu, 2 November 2025, pada usia 77 tahun. Sang Raja meninggalkan beberapa warisan penting berupa upaya mempersatukan dua takhta dan memulihkan marwah Keraton Surakarta setelah puluhan tahun konflik internal.
PB XIII yang memiliki nama lahir Gusti Raden Mas Suryo Partono lahir pada 28 Juni 1948, dari pasangan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan KRAy Pradapaningrum.
Sejak muda, ia dikenal tekun dan disiplin. Oleh karena itu, pada tahun 1979, sesuai paugeran (aturan adat) keraton, ia ditetapkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hangabehi, sebagai tanda bahwa dirinya disiapkan sebagai calon penerus takhta ayahandanya.
Hangabehi aktif dalam urusan internal keraton. Ia pernah menjabat sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta dan menerima Bintang Sri Kabadya I dari PB XII atas jasanya memulihkan keraton pascakebakaran tahun 1985, sebelum ia naik takhta.
Ia juga sempat bekerja di Caltex Pacific Indonesia di Riau dan dikenal memiliki minat di dunia musik serta radio amatir. Namun, perjalanan PB XIII menuju singgasana tidaklah mudah.
Setelah PB XII wafat pada 11 Juni 2004, terjadi perpecahan di antara para putra-putri raja. Dua putra PB XII, yakni KGPH Hangabehi dan KGPH Tedjowulan, sama-sama mengklaim takhta.
Sebuah rapat Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) PB XII pada 10 Juli 2004 menetapkan Hangabehi sebagai penerus resmi dan menjadwalkan penobatan pada 10 September 2004.
Namun, pada 31 Agustus 2004, kubu Tedjowulan lebih dahulu menobatkannya sebagai raja di Sasana Purnama, rumah milik BRAy Mooryati Sudibyo.
Konflik pun memuncak ketika kubu Tedjowulan menyerbu Keraton Surakarta pada awal September 2004, menimbulkan bentrokan yang melukai sejumlah abdi dalem dan bangsawan.
Meskipun demikian, penobatan Hangabehi tetap berlangsung pada 10 September 2004 dengan restu tiga sesepuh keraton. Sejak saat itu, ia resmi bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XIII.
Pada 4 Juni 2012, di Gedung DPR RI, Jakarta, Tedjowulan secara resmi mengakui PB XIII Hangabehi sebagai raja yang sah dan melepaskan gelarnya. Ia kemudian diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung (KGPHPA) serta dipercaya sebagai Mahapatih Keraton Surakarta.
Sumber: harian.disway.id
