MA Tolak PK Menteri PU dan Gubernur Jatim dalam Kasus Sungai Brantas, Wajib Jalankan 10 Perintah Pemulihan
Beberapa ikan mati di daerah aliran Sungai Brantas yang berada di Mojokerto. Foto: Ecoton--
JAKARTA, DISWAYMALANG.ID—Mahkamah Agung (MA) resmi menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (saat ini Menteri PU) serta Gubernur Jawa Timur terkait perkara gugatan pengelolaan Sungai Brantas. Putusan ini mempertegas kewajiban pemerintah melakukan langkah nyata untuk memulihkan sungai dari pencemaran yang telah terjadi selama bertahun-tahun.
Majelis PK yang diketuai I Gusti Agung Sumanatha dengan anggota Muh. Yunus Wahab dan Rahmi Mulyati menolak seluruh dalil permohonan kedua pejabat negara tersebut. Berdasarkan data SIPP PN Surabaya, putusan diberitahukan pada Kamis (2/10).
"Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon I Menteri PUPR RI dan Pemohon II Gubernur Jawa Timur,” bunyi amar putusan MA, dikutip dari laman Direktori Putusan Mahkamah Agung, Senin (3/11/2025).
Kasus ini bermula pada 2019, ketika LSM Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) menggugat Pemprov Jatim dan Kementerian PUPR. Gugatan dilayangkan setelah muncul laporan kematian ikan massal dan pencemaran berat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
PN Surabaya melalui Putusan Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby menyatakan pemerintah lalai dalam pengelolaan sungai. Putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY, dan kini dikuatkan kembali lewat penolakan PK di Mahkamah Agung.
Majelis menilai tidak ada “kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata” dalam putusan sebelumnya. “Tidak ditemukan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris," kutip pertimbangan majelis PK.
Bukti dan Fakta: Pencemaran Tak Ditindak Bertahun-Tahun
MA menyoroti fakta bahwa sejak 2011 hingga 2018, terjadi kematian ikan massal di DAS Brantas, namun tidak ada tindakan tegas terhadap industri pembuang limbah.
Dokumen Permen PUPR U/PRT/M/2015 (Bukti P-34) dan SK Gubernur Jatim Nomor 188/229/KPTS/013/2014 (Bukti P-35) menunjukkan bahwa meski sudah ada regulasi pengelolaan DAS, implementasinya lemah dan tak berdampak signifikan.
“Penggugat telah membuktikan bahwa para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum,” tulis majelis dalam pertimbangan putusan.
Konsekuensi Hukum: Pemerintah Wajib Jalankan 10 Perintah Pengadilan
Dengan ditolaknya PK, pemerintah kini wajib menjalankan sepuluh perintah pemulihan Sungai Brantas, di antaranya:
1. Meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat di 15 kota/kabupaten yang dilalui Sungai Brantas.
2. Memasukkan program pemulihan sungai ke dalam APBN 2020.
3. Memasang CCTV di setiap outlet wilayah sungai untuk memantau pembuangan limbah cair.
4. Melakukan audit independen terhadap seluruh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Jawa Timur.
5. Memberi peringatan keras kepada industri agar mengolah limbah sebelum dibuang ke sungai.
6. Menjatuhkan sanksi administrasi bagi industri pelanggar baku mutu air.
7. Memasang alat pemantau kualitas air (real time) di sepanjang DAS Brantas.
8. Menggelar kampanye publik agar warga tidak mengonsumsi ikan yang mati akibat limbah.
9. Meningkatkan koordinasi DLH dengan pelaku industri dalam tata kelola limbah cair.
10. Membentuk Satgas Pemantau Limbah yang bertugas mengawasi industri di wilayah Jatim.
Putusan MA ini menjadi tonggak penting dalam sejarah penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Bagi ECOTON dan aktivis lingkungan, kemenangan ini bukan sekadar soal hukum, tapi tanggung jawab moral negara terhadap hak warga atas lingkungan hidup yang sehat.
Sumber:
